Ekonomi Indonesia tahun depan masih berjuang untuk pulih dari resesi. Di balik pandemi, tren bisnis dan arah usaha pun berubah. Sektor bisnis yang tertinggal sebelumnya, kini malah melaju terdepan.
Tanda tanya masih menggelayuti perekonomian dan roda bisnis tahun depan. Pandemi corona tidak hanya merenggut jutaan nyawa manusia dan wabah resesi di seluruh dunia, namun juga mengubah total lanskap dan tatanan ekonomi. Beberapa sektor investasi dan bisnis malah menemukan momentum peningkatan di tengah upaya vaksinasi virus corona dan pemulihan ekonomi.
Ekonomi global sebenarnya sudah tertekan sejak tahun 2019 karena memuncaknya perang dagang antara Amerika Serikat (AS)-Tiongkok dan memanasnya hubungan dagang AS dengan Uni Eropa, Jepang, dan Korea Selatan. Alhasil, Bank Dunia memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi global tahun 2019, 2020, dan 2021, masing-masing sebesar 0,2%.
Pandemi Covid-19 yang terjadi sejak awal 2020 ini semakin memperburuk keadaan sehingga memicu wabah resesi ekonomi di mayoritas negara seluruh dunia. Ekonomi Indonesia pun resmi masuk masa resesi pada kuartal III lalu, dan ditaksir terus berlanjut hingga akhir tahun ini.
Pembatasan sosial dan penguncian wilayah (lockdown) di banyak negara juga menyebabkan terganggunya rantai pasok, produksi, dan permintaan dunia. Investasi dan volume perdagangan global pun turun signifikan.
Dengan jumlah kasus positif dan kematian akibat Covid-19 yang terus meningkat hingga menjelang tutup tahun 2020, harapan pemulihan ekonomi tahun depan sangat bertumpu pada efektivitas penanganan pandemi.
Sejauh ini, tak banyak negara yang mampu mengendalikan penyebaran virus. Salah satunya yaitu Tiongkok. Ekonomi negeri panda itu pulih dengan cepat: dari terkontraksi 6,8% pada kuartal I 2020 lalu tumbuh pada dua kuartal berikutnya yakni 3,2% dan 4,9% pada kuartal III.
Tiongkok pun diyakini akan memimpin arah pemulihan ekonomi global. Sedangkan negara-negara lain justru menghadapi gelombang kedua penularan virus di ujung tahun ini.
Harapan terhadap pemulihan ekonomi tahun depan bertumpu pada sejumlah kabar positif mengenai penemuan dan dimulainya vaksinasi virus corona . Organisasi untuk Kerjasama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) menyebut perkembangan vaksin sebagai secercah harapan untuk masa depan yang lebih cerah.
“Yang terburuk telah dihindari dan sebagian besar perekonomian mampu bertahan dan bisa pulih secara cepat,” kata Chief Economist OECD Laurence Boone, awal Desember lalu.
Perubahan Peta Investasi Global
Seiring dengan berbagai kebijakan pembatasan hingga lockdown, investasi global ikut anjlok. Menurut laporan Investment Trends Monitor yang dirilis United Nations Conference on Trade and Development (UNCTAD), aliran investasi asing atau foreign direct investment (FDI) global pada semester I 2020 merosot 49% secara tahunan atau year on year (yoy).
Penurunan FDI global karena melambatnya investasi pada proyek-proyek eksisting. Resesi ekonomi turut memicu perusahaan-perusahaan di seluruh dunia mengevaluasi rencana investasinya pada proyek-proyek baru.
Berdasarkan lokasinya, aliran investasi ke negara-negara maju turun paling dalam yakni hingga 75% yoy pada semester I menjadi US$ 98 miliar. Sementara aliran FDI ke negara-negara berkembang turun hanya 16% pada periode yang sama. “Jauh lebih rendah dari yang diperkirakan,” tulis laporan UNCTAD.
Adapun, aliran FDI ke negara-negara Asia hanya turun 12% karena terbantu oleh kuatnya investasi dari Tiongkok. Pada semester pertama ini FDI yang mengalir ke negara-negara Asia berkontribusi lebih dari separuh FDI global.
Di sisi lain, investasi dalam bentuk merger dan akuisisi lintas negara sepanjang kuartal III tahun ini nilainya mencapai US$ 319 miliar. Merger dan akuisisi di negara-negara maju turun sebesar 21%, namun penurunan tersebut akan lebih dalam jika tidak terbantu aktivitas pada industri digital.
World Investment Report (WIR), UNCTAD memperkirakan pandemi menyebabkan investasi global tahun ini turun hingga 40% secara tahunan dibandingkan posisi pada 2019 yang mencapai US$ 1,54 triliun.
Artinya total FDI global akan berada di bawah US$ 1 triliun untuk pertama kalinya sejak 2005. Sementara pada 2021 FDI diperkirakan turun antara 5-10%. Baru pada tahun 2022, ada kemungkinan FDI kembali ke level sebelum pandemi Covid-19 namun pada skenario optimisme tertinggi.
“Outlook ke depan masih sangat tidak pasti. Prospeknya masih tergantung pada durasi krisis kesehatan, dan efektivitas kebijakan negara-negara untuk meredam dampak ekonomi dari pandemi,” tulis laporan tersebut.
Adapun sektor-sektor yang semakin dilirik di masa pandemi ini, menurut laporan tersebut, yaitu sektor yang berkaitan dengan sustainable development goals (SDGs) alias ekonomi berkelanjutan. Dari 10 sektor dalam SDGs, enam di antaranya menikmati lonjakan investasi yang signifikan.
Keenam sektor tersebut yaitu infrastruktur, mitigasi perubahan iklim, pertanian, kesehatan, telekomunikasi, dan ekosistem serta biodiversitas.
Prospek Cerah Investasi Indonesia
Lalu bagaimana dengan Indonesia? Menurut data Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) realisasi investasi Indonesia hingga kuartal III tahun ini sudah kembali naik, setelah turun cukup dalam sejak ditemukannya kasus pertama Covid-19 pada Maret lalu.
Total realisasi investasi hingga kuartal III tahun ini mencapai Rp 611,6 triliun atau naik 1,7% secara tahunan dari Rp 601,3 triliun pada periode yang sama 2019, terutama didorong oleh penanaman modal dalam negeri (PMDN).
Realisasi investasi di Indonesia hingga kuartal III 2020 dapat dilihat pada databoks berikut:
Namun, penanaman modal asing (PMA) kuartal III masih turun 5,1% menjadi sebesar Rp 301,7 triliun dari Rp 317,8 triliun periode yang sama 2019. Sebaliknya penanaman modal dalam negeri (PMDN) naik hingga 9,3% menjadi Rp 309,9 triliun dari Rp 283,5 triliun.
Kepala BKPM Bahlil Lahadalia menjelaskan, tren investasi asing pada kuartal III meningkat pada sektor industri logam dasar, barang logam, bukan mesin, dan peralatannya. Sementara itu sektor pilihan investor dalam negeri di antaranya sektor transportasi, gudang, dan telekomunikasi.
“Ini merupakan sinyal positif bahwa investor asing mulai yakin terhadap kebijakan yang dilakukan pemerintah indonesia,” kata dia melalui keterangan tertulis beberapa waktu lalu.
Setelah pemulihan yang relatif cepat tersebut, prospek investasi ke Indonesia pada 2021 pun cukup cerah, menurut laporan JP Morgan yang bertajuk “Make Indonesia Great Again”.
Head of Indonesia Research & Strategy JP Morgan Henry Wibowo memprediksi aliran FDI ke Indonesia pada 2021 menyentuh rekor tertingginya. “Kami sangat optimis,” ujarnya.
Dia menjelaskan faktor utama pendorong aliran masuk investasi asing ke Indonesia yaitu disahkannya Undang-undang Omnibus Law Cipta Kerja (Ciptaker) pada Oktober 2020, yang aturan turunannya akan terbit pada Februari 2021.
“Pengesahan Omnibus Law Cipta Kerja akan menjadi reformasi kebijakan terbesar di negara ini sejak 1998,” kata Henry.
Selain faktor Omnibus Law, terpilihnya Joe Biden juga akan meningkatkan investasi ke Indonesia. Menurut Henry terpilihnya Biden akan menjadi pendorong dana asing mengalir ke emerging markets, termasuk Indonesia.
“Modal asing yang tadinya all about America, mulai kembali ke Asia Tenggara, ke Indonesia,” ujarnya. Modal asing tersebut tidak hanya akan mengalir dalam bentuk aliran portofolio ke pasar saham, tetapi juga dalam bentuk investasi langsung.
Investasi tersebut akan masuk sektor-sektor keuangan, infrastruktur atau industri, dan teknologi, media, telekomunikasi. “Indonesia bisa menjadi hub manufaktur atau teknologi berikutnya di Asia, yakni untuk produk mobil listrik, baterai kendaraan listrik, atau teknologi cloud,” ujarnya.
Adapun saat ini produksi baterai kendaraan listrik masih terkonsentrasi di empat negara di dunia, seperti terlihat pada databoks berikut:
Negara Pasar Berkembang Jadi Tumpuan Perdagangan
Menurut laporan UNCTAD, perdagangan global telah terdampak Covid-19 bahkan sebelum sejumlah negara memberlakukan lockdown. Ini karena Covid-19 lebih dulu memukul sektor manufaktur di Tiongkok, yang menyebabkan perdagangan dunia anjlok hingga US$ 50 miliar.
Namun, data World Trade Organization (WTO) menunjukkan volume perdagangan global pada kuartal III sudah mulai membaik dengan pertumbuhan kuartalan sebesar 11,6%.
Global Head Research/Chief Strategist Standard Chartered Eric Robertsen mengatakan perbaikan kinerja perdagangan global terutama disumbang oleh kawasan Asia. “Dua per tiga pertumbuhan pertumbuhan global berasal dari Asia Pasifik, yang mayoritas negaranya adalah emerging markets,” katanya.
Dia menyebutkan volume ekspor kawasan Asia pulih hanya dalam rentang enam bulan, walau masih jauh di bawah level sebelum pandemi. Menariknya, pemulihan tersebut didorong oleh perdagangan intra-regional Asia.
Iklim perdagangan global yang sempat terdisrupsi kebijakan “America First” Donald Trump, juga akan membaik seiring terpilihnya Joe Biden. Presiden baru AS ini diyakini tidak akan langsung mencabut semua kebijakan yang telah diambil pendahulunya tersebut, namun akan mengambil pendekatan yang lebih lunak.
Penandatanganan Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP) oleh 15 negara Asia Pasifik juga akan lebih mendongkrak perdagangan intra-regional Asia Pasifik dan memperkuat perekonomian negara-negara yang terlibat.
Secara kumulatif, 15 negara yang tergabung dalam perjanjian tersebut mewakili 29,6% populasi dunia, 27,4% perdagangan global, 30,2% produk domestik bruto (PDB) dunia, dan 29,8% FDI dunia.
Menurut penelitian Center for Indonesia Policy Studies (CIPS), Indonesia berpotensi meningkatkan ekspor hingga 7,2% melalui perluasan dalam rantai pasok global melalui RCEP. Lima tahun setelah ratifikasi, potensi ekspor diperkirakan naik 8-11%.
Mantan Menteri Perdagangan Agus Suparmanto, sebelum digantikan M. Lutfi, mengatakan RCEP akan mendorong Indonesia lebih jauh ke dalam rantai pasok global dengan memanfaatkan backward linkage, yakni dengan memenuhi kebutuhan bahan baku atau bahan penolong yang lebih kompetitif dari negara RCEP lainnya.
RCEP juga akan memanfaatkan forward linkage dengan memasok bahan baku atau bahan penolong ke negara anggota lainnya.
Sektor Usaha Unggulan
Dengan pemulihan ekonomi, investasi, dan perdagangan global yang masih menantikan keberhasilan vaksinasi, ada enam sektor yang menjadi primadona hingga tahun depan.
Seperti yang dijelaskan sebelumnya, keenam sektor tersebut termasuk dalam Sustainable Development Goals (SDGs) antara lain infrastruktur, mitigasi perubahan iklim, pertanian, kesehatan, telekomunikasi/teknologi informasi, dan ekosistem serta biodiversitas.
Menurut ekonom Bank Permata Josua Pardede, ada tiga sektor usaha yang potensial untuk memulihkan perekonomian Indonesia pada 2021. Salah satunya karena ketiga sektor tersebut tumbuh positif selama tahun ini.
“Tiga sektor itu adalah pertanian, teknologi informasi, serta jasa kesehatan,” katanya. Josua mendorong pemerintah agar menggenjot tiga sektor usaha tersebut tahun depan karena menjadi kebutuhan utama masyarakat di tengah pandemi.
Sektor pertanian khususnya terkait pangan, digitalisasi dalam sektor teknologi informasi, serta jasa kesehatan berperan mendukung kebutuhan masyarakat. Karena itu, dia berharap pemerintah melanjutkan stimulus atau insentif kepada ketiga sektor ini.
Sementara itu sektor infrastruktur, pemerintah telah mengalokasikan anggaran sebesar Rp 413,8 triliun pada APBN 2021 untuk melanjutkan proyek-proyek yang tertunda akibat Covid-19. Pemerintah juga mengalokasikan anggaran untuk teknologi informasi sebesar Rp 29,6 triliun untuk menyikapi besarnya pengaruh digitalisasi ketika pandemi.
Sama halnya dengan anggara kesehatan yang dipatok sebesar Rp 169,7 triliun, dan ketahanan pangan sebesar Rp 104,2 triliun. Sementara sektor pendidikan mendapat alokasi terbesar Rp 550 triliun, serta untuk pariwisata sebesar Rp 15,7 triliun.

Sumber : https://katadata.co.id/yurasyahrul/berita/5fe9b0d4965d6/prospek-ekonomi-2021-kelahiran-baru-sektor-usaha-dan-investasi

Leave a Reply

10 + seven =